Selasa, 08 September 2015

Download mp3 KH Anwar Zahid - Membina Rumah Tangga Yang Harmonis Pengajian Isl.mp3 - 84 MB


Assalam mukalakum wr wb
Hai sobat para pencita ceramah kh awar zahid ni saya tambahkan lagi koleksi cerama dari beliyau.jika kalian mau ni saya tambah kan lagi dan silakan liek download di bawah gambar ini

Nah itu dulu yang bisa saya bagikan saat ini semoga dapat manfaat untuk sobat semua dan bisa menabah koleksi anda.jika sobat mau nambah lagi koleksinya ceramah kh anwar zahid tunggu lagi postinggan saya berikutnya.

Sabtu, 05 September 2015

biografi~SYEKH IHSAN MUHAMMAD DAHLAN~pp jampesi kediri





Biografi Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Kediri Beliau terkenal sebagai seorang ulama yang pendiam dan tak suka publikasi. Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat. Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, tetapi hingga pada persoalan fikih. Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes. Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim. Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Air. Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16. Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi. Membaca dan menulis Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), ‘Tiada Hari tanpa Membaca’. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga bahasa Indonesia. Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren. Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932, ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia. Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad , penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi. Selain Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan , sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam. Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan (kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih remaja. Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya ‘Bakri’. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu. Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat. Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya.”Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu,” kata kakek tersebut. Ia bertanya dalam hati, ”Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,” timpal Syekh Ihsan.Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ”Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.” Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura). Tawaran Raja Mesir Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin . Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam. Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan ‘MMH’ (Madrasah Mufatihul Huda). Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952. Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad pertengahan. Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan. Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Darul Fiqr–sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman. Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara. Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia. Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika. Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar luas di Indonesia. Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari (Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad Yunus Abdullah (Kediri). Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniawian.

Jumat, 04 September 2015

DAFTAR NAMA PARA WALI KEDIRI JAWA TIMUR

DAFTAR NAMA PARA WALI KEDIRI 1. Syaikh Abdul Qodir al-Khairi (Tambak Ngadi Kediri) 2. Syaikh Abdullah Sholeh (Tambak Ngadi Kediri) 3. Syaikh Muhammad Hirman (Tambak Ngadi Kediri) 4. Syaikh Hamim Jazuli (Tambak Ngadi Kediri) 5. Mbah Kyai Anis Ibrahim (Tambak ngadi Kediri) 6. Mbah Kyai Ahmad Shiddiq (Tambak Ngadi Kediri) 7. Syaikh Utsman (Temayan Kediri) 8. Al-Habib Muhammad bin Thohir Ba’abud (Pelem Ploso Kediri) 9. Mbah Kyai Jazuli Utsman (Ploso Kediri) 10. Kyai Munif Jazuli (Ploso Kediri) 11. Mbah Kyai Jamaludin (Bathokan Kediri) 12. Mbah Kyai Fadhil (Bathokan Kediri) 13. Mbah Kyai Jauhari (Bathokan Kediri) 14. Mbah Kyai Anwar, (Pethuk Kediri) 15. Mbah Kyai Abdul Karim (Lirboyo Kediri) 16. Mbah Kyai Marzuki (Lirboyo Kediri) 17. Mbah Kyai Makhrus ‘Ali (Lirboyo Kediri) 18. Mbah Kyai Ma’ruf (Kedunglo Kediri) 19. Mbah Kyai Jalil Salafiyah (Bandar Kidul Kediri) 20. Mbah Kyai Thoha al-Ishlah (Bandar Kidul Kediri) 21. Mbah Kyai Abdullah Mu’thi al-Hafidz al-Quran (Mojokudi Kediri) 22. Mbah Kyai Hasan Mubarak (Mojokudi Kediri) 23. Mbah Kyai Abu Khair (Mojokudi Kediri) 24. Mbah Kyai Ridwan Isra'il (Gunting Kediri) 25. Mbah Kyai Ma’ruf al-Hafidz al-Quran (Klodran Kediri) 26. Mbah Kyai Ridwan Abdul Razaq al-Hafidz al-Quran (Klodran Kediri) 27. Mbah Kyai Ihsan Bajuri (Mberan Kediri) 28. Mbah Kyai Imam Yahya (Ngampel Kediri) 29. Mbah Kyai Mubasyir Mundzir (Ma’unahsari Kediri) 30. Syaikh Sholeh (Banjar Melati Kediri) 31. Mbah Kyai Anbiya 32. Mbah Kyai Ali Maklum 33. Mbah Kyai Zainal Abidin 34. Mbah Kyai Syafi’i 35. Mbah Kyai Abror 36. Mbah Kyai Muhammad 37. Mbah Kyai Ya’qub 38. Mbah Kyai Ibrohim 39. Mbah Kyai Abdul Hayyi (Banjar Melati Kediri) 40. Syaikh Hasan Besari (Kauman Kediri) 41. Syaikh Syamsuddin Mbah Washil (Sentono Gedong Kediri) 42. Syaikh Abdullah Mursyad (Sentono Landeyan Kediri) 43. Syaikh Ihsan Jampes (Mutih Kediri) 44. Mbah Kyai Dahlan (Mutih Kediri) 45. Mbah Kyai Mishbah (Mojoroto Kediri) 46. Mbah Kyai Hasan Munshorif (Adan adan Kediri) 47. Kyai Kyai Zamroji (Kencong Kediri) 48. Mbah Kyai Faqih (Sumbersari Kediri) 49. Mbah Kyai Asmuni (Pethuk Kediri) 50. Mbah Kyai Abubakar (Pethuk Kediri) 51. Mbah Kyai Imam Nawawi (Pethuk Kediri) 52. Mbah Kyai Nur Wahid (Plongko Pare Kediri) 53. Syaikh Syaifullah (Menang Pagu Kediri) 54. Mbah Kyai Abdullah (Pagu Wates kediri) 55. Mbah Kiai M. Shadiq (Kapurejo Pagu Kediri) 56. Mbah Kyai Said boponya Gus Lik Jamsaren (Jamsaren Kediri) 57. Mbah Kyai Jamak Sari (Jamsaren Kediri) 58. Mbah Kyai Ahmad Sa’i (Sagi Plosoklaten Kediri) 59. Mbah Kyai Majid Mbadal Abdurrahim 60. Mbah Kyai Abubakar 61. Mbah Kyai Asy’ari 62. Mbah Kyai Imam Nawawi (Ringinagung Kediri) 63. Mbah Kyai Abu Hamid (Cangkring Kediri) 64. Mbah Kyai Jufri Mursyid Thariqah (Jemekan Kediri) 65. Mbah Kyai Basthomi Umar Sufyan Mursyid Thariqah (Pondok Baran Mojo Kediri) 66. Mbah Syeikh Zainal Abidin (Ds. Toyoresmi Kediri) Lahum al-Fatihah.......
Nah itu tadi nama nama para wali di kediri.jika ada yg salah dan kurang saya mohon ma,af.

Asal usul pondok pesantren MAMBA,UL HIKAM mantenan udanawu blitar

PONDOK PESANTRENMAMBA’UL HIKAM MANTENAN UDANAWU BLITAR I.LETAK GEOGRAFIS Pondok pesantren biasanya berada di daerah yang jauh dari perkotaan. Begitu juga pondok pesantren Mamba’ul Hikam. Pondok pesantren ini berjarak kurang lebih 24 km. dari kota Blitar. Tepatnya di dusun Wonorejo Desa Slemanan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar. Pondok pesantren ini berdiri diatas tanah seluas kurang lebih 4 ha. yang merupakan tanah waqah dan tanah milik keluarga Kyai. Pondok pesantren mamba’ul Hikam sering dikenal dengan sebutan pondok Mantenan, meskipun kenyataanya tidak berada di dusun Mantenan, melainkan berada di dusun Wonorejo, hal ini dikarenakan warga masyarakat Mantenanlah yang banyak berperan dalam awal pembangunan masjid dan pondok pesantren serta yang aktif dalam kegiatan masjid dan pondok pesantren pada awal berdirinya. Sedangkan warga masyarakat Slemanan, yang waktu itu belum begitu mengenal agama islam, tidak begitu memberikan sambutan yang positif terhadap adanya masjid dan pondok. Sehingga sekarang ini nama Mantenanlah yang tetap melekat pada masjid dan pondok pesantren ini. II.SEJARAH BERDIRINYA Berdirinya pondok pesantren ini bermula pada tahun 1907, dengan hadirnya pemuda bernama Abdul Ghofur yang sangat ‘alim dalam Ilmu agama dan telah berpengalaman nyantri (mondok) diberbagai pondok pesantren. Beliau adalah menantu Haji Munajat (H. Ibrohim), seorang hartawan yang sangat terkenal kedermawanannya. Alkisah pemuda Abdul Ghofur adalah cucu dari seorang kyai pengasuh pon-pes. Konon, kakek beliau pernah mengadakan sayembara khusus untuk keluarga. Isi sayembara tersebut adalah barang siapa yang mampu meminum habis air yang telah disediakan dalam wadah (sejenis gelas) dengan sekali tegukan, maka ialah yang kelak mewarisi ilmu sang kakek. Wal hasil dengan izin Alloh, hanya Abdul Ghofur lah yang berhasil, meskipun waktu itu beliau masih kecil. Pada saat melihat masyarakat di daerah mertua yang kehidupan beragamanya sangat memprihatinkan, pemuda Abdul Ghofur merasa terpanggil untuk berda’wah, amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai awal pelaksanaan misi berda’wah beliau, dibangunlah sebuah langgar atau musholla. Selanjutnya dengan telaten beliau mengajak penduduk sekitar untuk memeluk agama islam dan melakukan syari’at-syari’atnya serta menghidupkan musholla beliau dengan kegiatan ibadah. Dan ternyata masyarakat terutama di dusun Mantenan, menyambut baik da’wah beliau. Banyak anak-anak, para pemuda, maupun orang tua yang mendatangi musholla untuk berjama’ah, belajar membaca al-qur’an dan ilmu syari’at yang lain. Hari terus berganti, musholla tersebut semakin banyak didatangi bukan saja dari masyarakat sekitar, tapi banyak juga yang datang dari desa lain, karena masyarakat yang datang sangat banyak dan dirasa tidak dapat tertampung lagi, akhirnya pada tahun 1911, dibangunlah sebuah masjid dan pondok dengan 6 kamar (sekarang disebut asrama Gedekan atau As-Syafi’i) umtuk para santri yang menetap. Maka sejak itulah mulai berdiri pondok pesantren yang oleh KH. Abdul Ghofur diberi nama Nahdlotut Tholab. Dan pondok ini terus berkembang, bahkan banyak juga santri yang berdatangan dari daerah yang jauh. Dan untuk mendidik santri yang terus bertambah maka dibentuklah sistem baru yaitu sistem madrasah. Dan di bawah koordinasi bapak Roikhuddin pada tahun 1920, berdirilah madrasah di bawah naungan pondok pesantren Nahdlotut Thullab. Dan pada tahun 1960 secara hukum telah mendapat pengakuan dari pemerintah dengan nama madrasah Ibtida’iyyah Nahdlatoel Oelama (MINO). Pada saat KH. Abdul Ghofur memasuki usia senja, beliau menunjuk kyai muda Mirzam Sulaiman Zuhdi dan Kyai Muda Zubaidi untuk mengemban amanat memimpin pondok dan madrasah. Pada tahun 1948 sepulang dari mondok, Kyai Zubaidi mempunyai ide mengganti nama madrasah menjadi Mamba’ul Hikam dengan harapan bisa tafa’ul dari nama tersebut, yang berarti sumber beberapa hikmah. Pada tahun 1952, duka yang dalam menyelimuti Pon-Pes Nahdlatut Tholab dan Madrasah Mamba’ul Hikam, para santri dan masyarakat berkabung, karena seorang tokoh panutan yang mereka segani dan mereka hormati, sang pendiri dan pengasuh pondok, yakni KH. Abdul Ghofur berpulang ke rahmatullah, meninggalkan amanah pondok & madrasah. Sepeninggal al-maghfurlah KH. Abd. Ghofur, maka perjuangan diteruskan oleh generasi berikutnya, yakni K. Mirzam Sulaiman Zuhdi dan K. Zubaidi. Dan pada dekade ini nama Mamba’ul Hikam semakin terkukuhkan, meskipun nama yang resmi terdaftar adalah “ MINO “. Pada tahun 1974, seorang tokoh muda yang waktu itu menjadi koordinator bidang pengajaran, yang juga alumni Pondok Mantenan ( 1962 – 1966 ). Mengusulkan pengintegrasian nama Madrasah dan nama Pondok Pesantren ( menjadi satu nama ), yaitu dengan nama MAMBA’UL HIKAM. Tokoh tersebut adalah Al-Ustadz Abdul Mujib Husnan. BA. Pengintegrasian ini dimaksudkan untuk mempermudah pengkonsolidasian dan pengaturan dalam hal administrasi dan menejemen pondok pesantren dan madrasah. Dan usul ini diterima oleh Kyai Zubaidi, maka atas restu dari beliau nama Pondok Pesantren dan Madrasah adalah MAMBA’UL HIKAM .
Nah demikian ringkasan riwayat berdirinya pondok pesantren MAMBAK,UL HIKAM mantenan udanawau belitar dan semoga dapat menabah wawasan /pengetahuwan sobat semua.
Terimakasih saya ucakan kepada nara suber kusunya segenak keluwarga besar pondok pesantren MAMBA,UL HIKAM MATEANAN UDANAWU BLITAT atas semua informasinya

Kamis, 03 September 2015

DOWNLOAD MP3 TERBARU kh anwar zahid-Kandat_Kediri.mp3 - 93 MB

Assalam mukalaikum wr wb
Sobat pencinta ceramah kh anwar zahid ni saya bagikan satu mp3 ceramah kh anwar zahid silahkan liek tulisa dalam tanda kurung dibawah ini dan langsung download sendiri
kh anwar zahid-Kandat_Kediri.mp3 - 93 MB
Nah demikian dulu yang bisa saya  bagikan untuk saat ini .untuk mp3 dari kh anwar zahid yang lain silahkan sobat tungu postingngan berikutnya.

TERIMAKASIH DAN SELAMAT MEDOWNLOAD DAN MEDENGARKAN TOSIYAHNYA

Rabu, 02 September 2015

MP3 SURAT YASIN

Jika anda mau download mp3 surat yasin silahkan liek di bawah ini
 01-Yasin.mp3 - 6 MB
Nah itu tadi yang bisa saya bagika  untuk saat ini untuk mp3 lain tunggu postinggan saya berikutnya.

Khurbah Terakhir NABI MUHAMMAD S.A.W lembah uranah

Khutbah Terakhir Nabi Muhammad S.A.W. di Lembah Uranah Khutbah ini disampaikan pada 9 Dzulhijjah, Tahun 10 Hijriah di Lembah Uranah, Gunung Arafah; Dari Jarir ra: “Sungguh Nabi S.A.W. bersabda padanya, pada Haji Wada’ (Haji perpisahan/haji Nabi saw yang terakhir). Simaklah dengan baik wahai orang-orang, lalu beliau bersabda: “Jangan kalian kembali kepada kekufuran setelah aku wafat, saling bunuh dan memerangi satu sama lain” (Shahih Bukhari) Haji Wada’ dikenal juga dengan nama Haji Perpisahan Nabi Muhammad S.A.W. Beliau mengumumkan niatnya pada 25 Dzulqaidah 10 H atau setahun sebelum beliau wafat. Dari sekian banyak hikmah dari Haji Wada’ ini adalah pesan kemanusiaan yang terungkap dari khutbah beliau. Pada hari kedelapan Zulhijjah, yaitu Hari Tarwia, Nabi Muhammad S.A.W. pergi ke Mina. Selama sehari itu sambil melakukan kewajiban salat ia tinggal dalam kemahnya itu. Begitu juga malamnya, sampai pada waktu fajar menyingsing pada hari haji. Selesai salat subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’ tatkala matahari mulai tersembul ia menuju arah ke gunung ‘Arafat. Arus-manusia dari belakang mengikutinya. Bilamana ia sudah mendaki gunung itu dengan dikelilingi oleh ribuan kaum Muslimin yang mengikuti perjalanannya - ada yang mengucapkan talbiah, ada yang bertakbir, sambil ia mendengarkan mereka itu, dan membiarkan mereka masing-masing. Di Namira, sebuah desa sebelah timur ‘Arafat, telah pula dipasang sebuah kemah buat Nabi, atas permintaannya. Bila matahari sudah tergelincir, dimintanya untanya al-Qashwa, dan ia berangkat lagi sampai di perut wadi di bilangan ‘Urana. Di tempat itulah manusia dipanggilnya, sambil ia masih di atas unta, dengan suara lantang; tapi sungguhpun begitu masih diulang oleh Rabi’a bin Umayya bin Khalaf. Setelah mengucapkan syukur dan puji kepada Allah dengan berhenti pada setiap anak kalimat ia berkata Suasana di Padang Arafah ketika musim Haji Di Arafah, segala puji kepada Allah dan shalawat bergema ketika Rasulullah berdiri untuk memulai khutbah. Wahai Manusia, dengarlah baik-baik apa yang hendak ku katakan.Aku tidak mengetahui apakah aku dapat bertemu lagi dengan kamu semua selepas tahun ini. Oleh itu dengarlah dengan seksama kata-kataku dan sampaikanlah kepada orang-orang yang tidak dapat hadir disini pada hari ini. Wahai manusia, sebagaimana kamu menganggap bulan ini dan kota ini sebagai suci, maka anggaplah jiwa dan harta setiap orang Muslim sebagai suci. Kembalikan harta yang diamanahkan kepada kamu kepada pemiliknya yang berhak. Janganlah kamu sakiti sesiapa pun agar orang lain tidak menyakiti kamu lagi.Ingatlah bahawa sesungguhnya kamu akan menemui Tuhan kamu dan Dia pasti membuat perhitungan diatas segala amalan kamu. Allah telah mengharamkan riba,oleh itu segala urusan yang melibatkan riba dibatalkan mulai sekarang. Berwaspadalah terhadap syaitan demi keselamatan agama kamu. Dan dia telah berputus asa untuk menyesatkan kamu dalam perkara-perkara besar, maka berjaga-jagalah supaya kamu tidak mengikuti nya dalam perkara-perkara kecil. Wahai manusia,sebagaimana kamu mempunyai hak keatas isteri kamu, mereka juga mempunyai hak di atas kamu.Sekiranya mereka menyempurnakan hak mereka ke atas kamu maka mereka juga berhak untuk diberi makan dan pakaian dalam suasana kasih sayang. Layanilah wanita-wanita kamu dengan baik, berlemah-lembutlah terhadap mereka kerana sesungguhnya mereka adalah teman dan pembantu yang setia. Dan hak kamu atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang kamu tidak sukai ke dalam rumah kamu dan dilarang melakukan zina. Wahai manusia ,dengarlah bersungguh-sungguh kata-kata ku ini, sembahlah Allah, dirikanlah solat lima kali sehari, berpuasalah di bulan Ramadan dan tunaikanlah zakat dari harta kekayaan kamu.Kerjakanlah ibadat Haji sekiranya kamu mampu. Ketahuilah bahwa setiap Muslim adalah bersaudara kepada Muslim yang lain. Kamu semua adalah sama, tidak seorang pun yang lebih mulia dari yang lainnya kecuali dalam Taqwa dan beramal soleh. Ingatlah, bahwa kamu akan menghadap Allah pada suatu hari untuk dipertanggungjawabkan di atas segala apa yang telah kamu kerjakan. Oleh karena itu awasilah agar jangan sekali-kali terkeluar dari landasan kebenaran selepas ketiadaanku. Wahai manusia, tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang akan datang selepasku dan tidak akan lahir agama baru. Oleh itu wahai manusia, nilailah dengan betul dan pahamilah kata-kataku yang telah aku sampaikan kepada kamu. Sesumgguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, yang sekiranya kamu berpegang teguh dan mengikuti kedua-duanya, niscaya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya. Itulah Al-Quran dan Sunnahku. Hendaklah orang-orang yang mendengar ucapanku menyampaikan pula kepada orang lain. Semoga yang terakhir lebih memahami kata-kataku dari mereka yang terus mendengar dariku. Saksikanlah Ya Allah bahawasanya telah aku sampaikan risalah-Mu kepada hamba-hamba-Mu. “Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?” Sementara Nabi mengucapkan itu Rabi’a mengulanginya kalimat demi kalimat, sambil meminta kepada orang banyak itu menjaganya dengan penuh kesadaran. Nabi juga menugaskan dia supaya menanyai mereka misalnya: Rasulullah bertanya “hari apakah ini? Mereka menjawab: Hari Haji Akbar! Nabi bertanya lagi: “Katakan kepada mereka, bahwa darah dan harta kamu oleh Tuhan disucikan, seperti hari ini yang suci, sampai datang masanya kamu sekalian bertemu Tuhan.” Setelah sampai pada penutup kata-katanya itu ia berkata lagi: “Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?!” Maka serentak dari segenap penjuru orang menjawab: “Ya!” Lalu katanya: “Ya Allah, saksikanlah ini!” Selesai Nabi mengucapkan pidato ia turun dari al-Qashwa’ - untanya itu. Ia masih di tempat itu juga sampai pada waktu sembahyang lohor dan asar. Kemudian menaiki kembali untanya menuju Shakharat. Pada saat itulah turun wahyu yang terakhir kepada Nabi Muhammad S.A.W. : Firman Allah SWT : “Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kamu, dan Aku Ridho Islam menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah : 3). Abu Bakar ketika mendengarkan ayat itu ia menangis, ia merasa, bahwa risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saatnya Nabi hendak menghadap Allah. Dengan selesainya ibadah haji ini, ada orang yang menamakannya ‘Ibadah haji perpisahan’ yang lain menyebutkan ‘ibadah haji penyampaian’ ada lagi yang mengatakan ‘ibadah haji Islam. Nama-nama itu memang benar semua. Disebut ‘ibadah haji perpisahan’ karena ini yang penghabisan kali Nabi Muhammad S.A.W. melihat Mekah dan Ka’bah. Dengan ‘ibadah haji Islam,’ karena Allah telah menyempurnakan agama ini kepada umat manusia dan mencukupkan pula nikmatNya. ‘Ibadah haji penyampaian’ berarti Nabi telah menyampaikan kepada umat manusia apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Tiada lain Muhammad hanya memberi peringatan dan pembawa berita gembira kepada orang-orang beriman. Setelah meninggalkan Arafat malam itu Nabi bermalam di Muzdalifa. Pagi-pagi ia bangun dan turun ke Masy’ar’l-Haram. Kemudian ia pergi ke Mina dan dalam perjalanan itu ia melemparkan batu-batu kerikil. Bila sudah sampai di kemah ia menyembelih 63 ekor unta, setiap seekor unta untuk satu tahun umurnya, dan yang selebihnya dari jumlah seratus ekor unta kurban yang dibawa Nabi sewaktu keluar dari Medinah - disembelih oleh Ali. Kemudian Nabi mencukur rambut dan menyelesaikan ibadah hajinya. (Khutbah ini disampaikan oleh Rasulullah S.A.W pada 9 Zulhijjah Tahun 10 Hijrah di Lembah Uranah, Gunung Arafah.)

Selasa, 01 September 2015

sejarah berdirinya pondok pesantren lirboyo kediri

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN LIRBOYO Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. dahulu desa ini merupakan sarang penyamun dan perampok, hingga pada suatu ketika atas prakarsa Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati. Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram. Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Santri Perdana dan Pondok Lama Adalah seorang bocah lugu yang bernama Umar asal Madiun, dialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai. Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya. Tahun demi tahun, keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan
yang bertugas ronda keliling disekitar pondok. Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, karena keberadaannya yangbegitu penting bagi perkembangan dakwah bagi ummat Islam dan sebagai sarana untuk mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada masjid,
seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo. Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan,
sehingga dirasakan KH. Abdul Karim, belum dianggap sempurna sebuah pesantren kalau belum ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis berdirinya masjid dilingkungan Pondok. Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut. Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang. Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik, yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah. Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

 SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI
 Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang. Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien” Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “
(para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah). Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien 1. Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan. 2. Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri. 3. Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri. Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan. Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :
1. Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal 2. Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi ( dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain Setalah mandek selama dua tahun tepatnya tahun 1931 M. sampai tahun 1933M. KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan 5 Sen setiap bulan. Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas. Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun. Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Ketika masa Penjajahan Jepang Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH. Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya. Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi. Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir. Setelah Merdeka Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo. Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh). Masa pembenahan kurikulum Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak Ilham Nadzir. Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun. Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Perkembangan terakhir Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini. Visi : Beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan disiplin Misi : Mencetak muslim intelektual yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah serta menciptakan kader ulama yang mampu mentransformasikan ilmu agama dalam berbagai kondisi.
 sekian dulu coretan saya tetang asal usul serta perjalana berdirinya pondok pesantren lirboyo kediri jawa timur jika ada tulisan yang salah saya mita ma,af yang sebesar besarnya.dan semoga dapat menabah pengngetahuan serta wawasan kita semua kususnya pada peribadi diri  saya sendiri.